Perusahaan merupakan kolaborasi antara aset tangible dan intangible dalam mencapai tujuan. Aset tangible perusahaan dapat berupa berupa “Land, Labour and Capital”. Aset tangible ini mudah dikembangkan dengan meningkatkan kuantitas yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Aset intangible perusahaan terintegrasi melalui labour yaitu dalam proses regenerasi melalui sharing knowledge.
Dewasa ini adalah era knowledge based economy, di mana kekuatan inti suatu perusahaan terletak pada human capital. Persaingan antar perusahaan yang semakin kompetitif memunculkan konsep industri yang padat pengetahuan dengan menuntut ketersediaan knowledge worker dalam jumlah besar untuk mendukung kemajuan suatu perusahaan. Human capital yang sarat akan pengetahuan ini memberikan nilai tambah dan meningkatkan produktivitas yang jauh lebih signifikan daripada faktor material seperti lahan atau modal semata.
·Manfaat Pengetahuan
Francis Bacon pada abad ke – 15 mengungkapkan bahwa “knowledge is a power”. Bill Gates membuktikan kekuatan ilmu pengetahuan tersebut pada abad ke – 20 melalui kemunculan Microsoft. Lompatan besar dalam knowledge ini mendongkrak kebangkitan teknologi informasi seperti Intel, IBM, Cisco, Lucent, dan Dell. Peter F. Drucker membenarkan pentingnya knowledge yang membawa perubahan besar pada kemajuan dunia modern.
Teori ekonomi modern yang digagas Paul Romer imendukung asumsi mengenai perlunya lembaga dan kebijakan negara memanfaatkan sains, teknologi, dan inovasi untuk mendorong economic growth. Model Romer dan aplikasi empirisnya menunjukkan bahwa inovasi dan adopsi teknologi pada dasarnya melekat di dalam pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh kombinasi investasi dalam bidang sains, teknologi, inovasi serta kebijakan yang padu.
Modal intelektual dapat bermanfaat melalui tiga perspektif, yaitu: manusia, struktural, dan relasi. Manfaat knowledge dalam perspektif manusia adalah implicit knowledge yang mencakup skill (kompetensi dan keahlian seseorang dalam suatu bidang khusus) dan attitude(kejujuran, tanggung jawab, visioner, disiplin, kooperatif, ulet dan tidak mudah menyerah). Manfaat knowledge dalam perspektif struktural berupa explicit knowledge yang menunjukkan proses (sistem kerja, manajemen, korporat, komputerisasi dan enterprising ) serta budaya yang menjunjung tinggi etika. Manfaat knowledge management dalam perspektif relasi adalah meningkatkan kerjasama antar jaringan, reputasi (pengakuan), dan customer capital (mengkomunikasikan ilmu pengetahuan dengan baik melalui lembaga pendidikan, birokrat, dan industri).
·Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management)
Knowledge Management adalah merupakan proses sistematis untuk menemukan, memilih, mengelola, menyaring dan menyajikan informasi dalam suatu cara yang dapat meningkatkan pengetahuan individu dalam suatu lingkungan. Knowledge management memungkinkan penciptaan,pencapaian dan penggunaan segala macam knowledge untuk mencapai tujuan bisnis.
Knowledge Management adalah pengelolaan pengetahuan organisasi untuk menciptakan nilai dan menghasilkan keunggulan bersaing atau kinerja prima. Melalui knowledge management, organisasi mengidentifikasikan pengetahuannya, lantas memanfaatkannya guna meningkatkan kinerja dan menghasilkan berbagai inovasi. Guna memperoleh knowledge management sebesar-besarnya, organisasi juga aktif mengidentifikasi dan mengakuisisi pengetahuan berkualitas yang ada di lingkungan eksternal organisasi.
Knowledge management dikelompokkan ke dalam empat arahan yaitu pertama, sebagai pemrosesan informasi organisasi (organizational information processing); kedua, inteligen bisnis (business intelligence); ketiga, kognisi organisasi (organizational cognition), dan keempat, pengembangan perusahaan (organizational development).
Peranan knowledge management dapat dilihat dari penggunaan pengetahuan sebagai basis melahirkan inovasi juga landasan meningkatkan responsivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan stakeholders. Selain itu, pengetahuan juga menjadi basis yang meningkatkan produktivitas dan kompetensi karyawan yang telah diberi tanggung jawab. Secara generik, knowledge management dapat dipahami melalui aktivitasnya, yakni mengembangkan dan mempertahankan dinamika serta daya saing perusahaan yang bertumpu kepada sumber daya pengetahuan (knowledge assets). Jadi, sebenarnya, faktor intrinsik perbedaan kinerja antara perusahaan tadi adalah pengetahuan.
Para pelaku knowledge management cenderung menggunakan metode dalam menganalisis suatu proses, keadaan, dan aktivitas bisnis, di mana dalam proses analisis tersebut terdapat siklus atau aliran pengetahuan (knowledge flow). Pada akhirnya, mengatur suatu pengetahuan adalah suatu kebiasaan atau habit yang perlu ditumbuhkan.
Dalam bukunya “HRM in Knowledge Economy”, Mark Lengnick-Hall dan Cynthia Lengnick-Hall mengatakan belakangan ini fungsi manajemen sumber daya manusia (SDM) di banyak organisasi bersifat dangkal. Mereka cenderung hanya berusaha melakukan pekerjaan rutin secara lebih baik dan efisien daripada mengevaluasi peran dan kontribusi mereka dalam rangka menyongsong era bisnis baru menuju Human Capital Management (HCM).
Seiring dengan globalisasi, information-based, kemajuan teknologi, dan persaingan ketat, manajemen SDM dituntut meningkatkan kemampuan SDM-nya. Manajemen SDM akan menghadapi kewajiban-kewajiban baru di era bisnis masa kini, yaitu:
·Membangun Kapabilitas Strategis
Organisasi pada era masa kini perlu membangun kapabilitas strategis, yaitu kapasitas untuk membuat value berdasarkan aset-aset intangible. Yang dimaksud dengan aset intangible adalah aset yang tidak terlihat, sulit dihitung, tidak ada dalam akunting, dan harus dikembangkan dari waktu ke waktu. Misalnya: pengetahuan teknologi, kesetiaan customer, proses bisnis dan lain-lain. Intangible aset inilah yang akan menentukan apakah perusahaan akan berhasil atau gagal.
Beberapa karakteristik perusahaan yang sudah mempunyai kapabilitas strategis adalah: kompetensi bisnis yang tinggi, kemampuan untuk menganalisis kondisi pasar, kemampuan mentransfer skill secara cepat dan akurat di perusahaan, dan lain-lain. Intinya, kapabilitas strategis (Intellectual Capital) adalah kesiapan pada saat ini dan kemampuan beradaptasi pada masa depan.
Kapabilitas strategis (Intelectual Capital) diperoleh melalui proses penciptaan, pertukaran, dan mengumpulkan pengetahuan yang membangun kapabilitas individu dan organisasi untuk memberi hasil yang terbaik bagi pelanggan. Kapabilitas strategis terdiri dari tiga komponen yang terkait dengan SDM, yaitu: human capital (skill dan kompetensi individu/organisasi), structural capital (arsitektur organisasi dan proses manajerial), dan relationship capital (hubungan interpersonal di organisasi). Manajemen SDM harus berkontribusi dengan menciptakan dan memelihara ketiga komponen kapabilitas strategis ini melalui program, praktek, dan kebijakan yang mendukung.
·Memperluas Batas
Orang sering berpikir bahwa tugas manajemen SDM adalah merekrut, mempromosikan, melatih, memecat dan seterusnya serta fungsi manajemen SDM adalah hanya merupakan organisasi tunggal. Jadi menurut pandangan tersebut, manajemen SDM adalah fungsi internal perusahaan. Jarang orang berpikir bahwa manajemen SDM (termasuk program, praktek, dan kebijakannya) bisa diterapkan ke supplier atau distributor, bahkan ke pelanggan.
Hal ini akan menjadi keharusan dalam perkembangan era ekonomi pengetahuan (knowledge economy). Dengan memperluas batas dari perusahaan ke supplier, distibutor, dan pelanggan, manajemen SDM bisa mempunyai pengaruh yang lebih dan signifikan di organisasi. Pada dasarnya, dengan memperluas batas, manajemen SDM menggunakan kemampuan mereka untuk membantu organisasi memberi pengaruh ke pelanggan, supplier, dan seluruh pegawai yang menjalankan aktivitas organisasi.
·Mengelola Peran Baru
Berdasarkan pandangan lama, peran manajemen SDM adalah menarik dan menyeleksi calon pegawai, mengembangkan manajemen performansi dan sistem kompensasi untuk menyelaraskan tingkah laku pegawai dengan tujuan organisasi, dan mengembangkan dan me-retensi pegawai sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Peran manajemen SDM seperti itu dalam era ekonomi pengetahuan (Knowledge Economy) tidaklah cukup. Bukan berarti manajemen SDM tidak akan melakukan fungsi-fungsi tersebut, peran ini tetap akan dilakukan. Bagaimanapun, untuk mengelola SDM di masa depan, manajemen SDM perlu mengadopsi peran baru untuk menghadapi tantangan.
Tetap bertahan di fungsional birokrasi semata akan menyebabkan fungsi manajemen SDM menjadi kurang efektif dalam organisasi. Kegagalan untuk berubah sesuai dengan tuntutan ekonomi akan menjadikan manajemen SDM kurang penting, di mana tantangan-tantangan baru seperti manajemen pengetahuan (knowledge management) dan pengembangan SDM akan diperankan di tempat lain dalam organisasi. Tetapi hal ini tidak perlu terjadi. Pada kenyataannya, SDM adalah sumber logis dari tantangan-tantangan baru ini.
Bagaimanapun, untuk menjadi bagian dari solusi dan bukan menjadi kendala, manajemen SDM harus keluar dari birokrasi masa lalu. Ini memerlukan pergeseran paradigma bahwa manajemen SDM tidak hanya sekadar menjalankan fungsi dan proses, tetapi lebih kepada peran.
Definisi peran dalam organisasi adalah tanggung jawab, hubungan, dan area kontribusi, serta harapan-harapan. Peran bisa dianalogikan sebagai pernyataan visi organisasi. Dengan mengelola peran, manajemen SDM memberi kontribusi lebih untuk kesuksesan organisasi. Ini berarti paradigma manajemen SDM telah berubah dari fungsi dan proses menjadi hasil dan pencapaian.
Ever since the financial crisis of 2008, I have sensed from many leaders that they want to do a better job of leading in accordance with their personal values. The crisis exposed the fallacies of measuring success in monetary terms and left many leaders with a deep feeling of unease that they were being pulled away from what I call their True North.
As markets rose and bonus pools grew, it was all too easy to celebrate the rising tide of wealth without examining the process that created it. Too many leaders placed self-interest ahead of their organizations’ interests, and ended up disappointing the customers, employees, and shareholders who had trusted them. I often advise emerging leaders, “You know you’re in trouble when you start to judge your self-worth by your net worth.” Nevertheless, many leaders get caught up in this game without realizing it.
This happened to me in 1988, when I was an executive vice president at Honeywell, en route to the top. By external standards I was highly successful, but inside I was deeply unhappy. I had begun to focus too much on impressing other people and positioning myself to become CEO. I was caught up with external measures of success instead of looking inward to measure my success as a human and a leader. I was losing my way.
My colleague, Harvard Professor Clayton Christensen, addressed this topic in his HBR article, How Will You Measure Your Life? Clay observed that few people, if any, intend at the outset of their career to behave dishonestly and hurt others. Early on, even Bernie Madoff and Enron’s Jeff Skilling planned to live honest lives. But then, Christensen says, they started making exceptions to the rules “just this once.”
At Harvard Business School, we are challenging students to think hard about their definition of success and what’s important in their lives. Instead of viewing success as reaching a certain position or achieving a certain net worth, we encourage these future leaders to see success as making a positive difference in the lives of their colleagues, their organizations, their families, and society as a whole. The course that I created in 2005, Authentic Leadership Development (ALD), has become one of the most popular elective MBA courses, thanks to my HBS colleagues who are currently teaching it. It enables second-year MBAs to ground their careers in their beliefs, values, and principles, following the authentic leadership process described in my 2007 book, True North. More recently, ALD has become a very popular course for executives of global companies.
With all the near-term pressures in today’s society, especially in business, it is very difficult to find the right equilibrium between achieving our long-term goals and short-term financial metrics. As you take on greater leadership responsibilities, the key is to stay grounded and authentic, face new challenges with humility, and balance professional success with more important but less easily quantified measures of personal success. That is much easier said than done.
The practice of mindful leadership gives you tools to measure and manage your life as you’re living it. It teaches you to pay attention to the present moment, recognizing your feelings and emotions and keeping them under control, especially when faced with highly stressful situations. When you are mindful, you’re aware of your presence and the ways you impact other people. You’re able to both observe and participate in each moment, while recognizing the implications of your actions for the longer term. And that prevents you from slipping into a life that pulls you away from your values.
I don’t use the word “practice” lightly. In order to gain awareness and clarity about the present moment, you must be able to quiet your mind. That is tremendously difficult and takes a lifetime of practice. In 2012, I had the privilege of presenting my ideas on authentic leadership to his Holiness the Dalai Lama. When I asked him what it took to become an authentic leader, he replied, “You must have practices that you engage in every day.”
My most important introspective practice is mediation, something I try to do for twenty minutes twice a day. In 1975 I went with my wife Penny to a Transcendental Meditation (TM) Workshop. Although I never adopted the spiritual portion of TM, the physical practice became an integral part of my daily routine. Meditation has been a godsend for me. As an active leader who has held highly stressful roles since my mid-twenties, I was diagnosed with high blood pressure in my early thirties. When I started meditating, I was able to stay calmer and more focused in my leadership, without losing the “edge” that I believed had made me successful. Meditation enabled me to cast off the many trivial worries that once possessed me and gain clarity about what was really important. I gradually became more self-aware and more sensitive to the impact I was having on others. Just as important, my blood pressure returned to normal and stayed there.
While many CEOs and companies are embracing meditation, it may not be for everyone. The important thing is to have a set time each day to pull back from the intense pressures of leadership to reflect on what is happening. In addition to meditation, I know leaders who take time for daily journaling, prayer, and reflecting while walking, hiking or jogging. I also find it extremely helpful to share the day’s events with Penny and seek her counsel.
Regardless of the daily introspective practice you choose, the pursuit of mindful leadership will help you achieve clarity about what is important to you and a deeper understanding of the world around you. Mindfulness will help you clear away the trivia and needless worries about unimportant things, nurture passion for your work and compassion for others, and develop the ability to empower the people in your organization.
Dalam bukunya “HRM in Knowledge Economy”, Mark Lengnick-Hall dan Cynthia Lengnick-Hall mengatakan belakangan ini fungsi manajemen sumber daya manusia (SDM) di banyak organisasi bersifat dangkal. Mereka cenderung hanya berusaha melakukan pekerjaan rutin secara lebih baik dan efisien daripada mengevaluasi peran dan kontribusi mereka dalam rangka menyongsong era bisnis baru menuju Human Capital Management (HCM).
Seiring dengan globalisasi, information-based, kemajuan teknologi, dan persaingan ketat, manajemen SDM dituntut meningkatkan kemampuan SDM-nya. Manajemen SDM akan menghadapi kewajiban-kewajiban baru di era bisnis masa kini, yaitu:
·Membangun Kapabilitas Strategis
Organisasi pada era masa kini perlu membangun kapabilitas strategis, yaitu kapasitas untuk membuat value berdasarkan aset-aset intangible. Yang dimaksud dengan aset intangible adalah aset yang tidak terlihat, sulit dihitung, tidak ada dalam akunting, dan harus dikembangkan dari waktu ke waktu. Misalnya: pengetahuan teknologi, kesetiaan customer, proses bisnis dan lain-lain. Intangible aset inilah yang akan menentukan apakah perusahaan akan berhasil atau gagal.
Beberapa karakteristik perusahaan yang sudah mempunyai kapabilitas strategis adalah: kompetensi bisnis yang tinggi, kemampuan untuk menganalisis kondisi pasar, kemampuan mentransfer skill secara cepat dan akurat di perusahaan, dan lain-lain. Intinya, kapabilitas strategis (Intellectual Capital) adalah kesiapan pada saat ini dan kemampuan beradaptasi pada masa depan.
Kapabilitas strategis (Intelectual Capital) diperoleh melalui proses penciptaan, pertukaran, dan mengumpulkan pengetahuan yang membangun kapabilitas individu dan organisasi untuk memberi hasil yang terbaik bagi pelanggan. Kapabilitas strategis terdiri dari tiga komponen yang terkait dengan SDM, yaitu: human capital (skill dan kompetensi individu/organisasi), structural capital (arsitektur organisasi dan proses manajerial), dan relationship capital (hubungan interpersonal di organisasi). Manajemen SDM harus berkontribusi dengan menciptakan dan memelihara ketiga komponen kapabilitas strategis ini melalui program, praktek, dan kebijakan yang mendukung.
·Memperluas Batas
Orang sering berpikir bahwa tugas manajemen SDM adalah merekrut, mempromosikan, melatih, memecat dan seterusnya serta fungsi manajemen SDM adalah hanya merupakan organisasi tunggal. Jadi menurut pandangan tersebut, manajemen SDM adalah fungsi internal perusahaan. Jarang orang berpikir bahwa manajemen SDM (termasuk program, praktek, dan kebijakannya) bisa diterapkan ke supplier atau distributor, bahkan ke pelanggan.
Hal ini akan menjadi keharusan dalam perkembangan era ekonomi pengetahuan (knowledge economy). Dengan memperluas batas dari perusahaan ke supplier, distibutor, dan pelanggan, manajemen SDM bisa mempunyai pengaruh yang lebih dan signifikan di organisasi. Pada dasarnya, dengan memperluas batas, manajemen SDM menggunakan kemampuan mereka untuk membantu organisasi memberi pengaruh ke pelanggan, supplier, dan seluruh pegawai yang menjalankan aktivitas organisasi.
·Mengelola Peran Baru
Berdasarkan pandangan lama, peran manajemen SDM adalah menarik dan menyeleksi calon pegawai, mengembangkan manajemen performansi dan sistem kompensasi untuk menyelaraskan tingkah laku pegawai dengan tujuan organisasi, dan mengembangkan dan me-retensi pegawai sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Peran manajemen SDM seperti itu dalam era ekonomi pengetahuan (Knowledge Economy) tidaklah cukup. Bukan berarti manajemen SDM tidak akan melakukan fungsi-fungsi tersebut, peran ini tetap akan dilakukan. Bagaimanapun, untuk mengelola SDM di masa depan, manajemen SDM perlu mengadopsi peran baru untuk menghadapi tantangan.
Tetap bertahan di fungsional birokrasi semata akan menyebabkan fungsi manajemen SDM menjadi kurang efektif dalam organisasi. Kegagalan untuk berubah sesuai dengan tuntutan ekonomi akan menjadikan manajemen SDM kurang penting, di mana tantangan-tantangan baru seperti manajemen pengetahuan (knowledge management) dan pengembangan SDM akan diperankan di tempat lain dalam organisasi. Tetapi hal ini tidak perlu terjadi. Pada kenyataannya, SDM adalah sumber logis dari tantangan-tantangan baru ini.
Bagaimanapun, untuk menjadi bagian dari solusi dan bukan menjadi kendala, manajemen SDM harus keluar dari birokrasi masa lalu. Ini memerlukan pergeseran paradigma bahwa manajemen SDM tidak hanya sekadar menjalankan fungsi dan proses, tetapi lebih kepada peran.
Definisi peran dalam organisasi adalah tanggung jawab, hubungan, dan area kontribusi, serta harapan-harapan. Peran bisa dianalogikan sebagai pernyataan visi organisasi. Dengan mengelola peran, manajemen SDM memberi kontribusi lebih untuk kesuksesan organisasi. Ini berarti paradigma manajemen SDM telah berubah dari fungsi dan proses menjadi hasil dan pencapaian.
“KNOWLEDGE MANAGEMENT” di Era Ekonomi Berbasis Pengetahuan
Perusahaan merupakan kolaborasi antara aset tangible dan intangible dalam mencapai tujuan. Aset tangible perusahaan dapat berupa berupa “Land, Labour and Capital”. Aset tangible ini mudah dikembangkan dengan meningkatkan kuantitas yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Aset intangible perusahaan terintegrasi melalui labour yaitu dalam proses regenerasi melalui sharing knowledge.
Dewasa ini adalah era knowledge based economy, di mana kekuatan inti suatu perusahaan terletak pada human capital. Persaingan antar perusahaan yang semakin kompetitif memunculkan konsep industri yang padat pengetahuan dengan menuntut ketersediaan knowledge worker dalam jumlah besar untuk mendukung kemajuan suatu perusahaan. Human capital yang sarat akan pengetahuan ini memberikan nilai tambah dan meningkatkan produktivitas yang jauh lebih signifikan daripada faktor material seperti lahan atau modal semata.
·Manfaat Pengetahuan
Francis Bacon pada abad ke – 15 mengungkapkan bahwa “knowledge is a power”. Bill Gates membuktikan kekuatan ilmu pengetahuan tersebut pada abad ke – 20 melalui kemunculan Microsoft. Lompatan besar dalam knowledge ini mendongkrak kebangkitan teknologi informasi seperti Intel, IBM, Cisco, Lucent, dan Dell. Peter F. Drucker membenarkan pentingnya knowledge yang membawa perubahan besar pada kemajuan dunia modern.
Teori ekonomi modern yang digagas Paul Romer imendukung asumsi mengenai perlunya lembaga dan kebijakan negara memanfaatkan sains, teknologi, dan inovasi untuk mendorong economic growth. Model Romer dan aplikasi empirisnya menunjukkan bahwa inovasi dan adopsi teknologi pada dasarnya melekat di dalam pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh kombinasi investasi dalam bidang sains, teknologi, inovasi serta kebijakan yang padu.
Modal intelektual dapat bermanfaat melalui tiga perspektif, yaitu: manusia, struktural, dan relasi. Manfaat knowledge dalam perspektif manusia adalah implicit knowledge yang mencakup skill (kompetensi dan keahlian seseorang dalam suatu bidang khusus) dan attitude (kejujuran, tanggung jawab, visioner, disiplin, kooperatif, ulet dan tidak mudah menyerah). Manfaat knowledge dalam perspektif struktural berupa explicit knowledge yang menunjukkan proses (sistem kerja, manajemen, korporat, komputerisasi dan enterprising ) serta budaya yang menjunjung tinggi etika. Manfaat knowledge management dalam perspektif relasi adalah meningkatkan kerjasama antar jaringan, reputasi (pengakuan), dan customer capital (mengkomunikasikan ilmu pengetahuan dengan baik melalui lembaga pendidikan, birokrat, dan industri).
·Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management)
Knowledge Management adalah merupakan proses sistematis untuk menemukan, memilih, mengelola, menyaring dan menyajikan informasi dalam suatu cara yang dapat meningkatkan pengetahuan individu dalam suatu lingkungan. Knowledge management memungkinkan penciptaan,pencapaian dan penggunaan segala macam knowledge untuk mencapai tujuan bisnis.
Knowledge Management adalah pengelolaan pengetahuan organisasi untuk menciptakan nilai dan menghasilkan keunggulan bersaing atau kinerja prima. Melalui knowledge management, organisasi mengidentifikasikan pengetahuannya, lantas memanfaatkannya guna meningkatkan kinerja dan menghasilkan berbagai inovasi. Guna memperoleh knowledge management sebesar-besarnya, organisasi juga aktif mengidentifikasi dan mengakuisisi pengetahuan berkualitas yang ada di lingkungan eksternal organisasi.
Knowledge management dikelompokkan ke dalam empat arahan yaitu pertama, sebagai pemrosesan informasi organisasi (organizational information processing); kedua, inteligen bisnis (business intelligence); ketiga, kognisi organisasi (organizational cognition), dan keempat, pengembangan perusahaan (organizational development).
Peranan knowledge management dapat dilihat dari penggunaan pengetahuan sebagai basis melahirkan inovasi juga landasan meningkatkan responsivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan stakeholders. Selain itu, pengetahuan juga menjadi basis yang meningkatkan produktivitas dan kompetensi karyawan yang telah diberi tanggung jawab. Secara generik, knowledge management dapat dipahami melalui aktivitasnya, yakni mengembangkan dan mempertahankan dinamika serta daya saing perusahaan yang bertumpu kepada sumber daya pengetahuan (knowledge assets). Jadi, sebenarnya, faktor intrinsik perbedaan kinerja antara perusahaan tadi adalah pengetahuan.
Para pelaku knowledge management cenderung menggunakan metode dalam menganalisis suatu proses, keadaan, dan aktivitas bisnis, di mana dalam proses analisis tersebut terdapat siklus atau aliran pengetahuan (knowledge flow). Pada akhirnya, mengatur suatu pengetahuan adalah suatu kebiasaan atau habit yang perlu ditumbuhkan.
“E-LEARNING” SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN ORGANISASI (LEARNING ORGANIZATION)
Modal manusia (Human Capital) menjadi sumber utama nilai ekonomi dimana pendidikan dan pelatihan menjadi “upaya” seumur hidup bagi jutaan pekerja (Stokes, 2003; Urdan & Weggen, 2000). Hal ini karena keberhasilan usaha lebih tergantung pada kinerja karyawan berkualitas tinggi, yang pada gilirannya memerlukan pelatihan berkualitas tinggi. Kemajuan teknologi informasi dan hambatan perdagangan yang tidak ada lagi, memfasilitasi bisnis berkembang di seluruh dunia.
Solusi pendidikan dan pelatihan berbasis teknologi yang berkembang harus mengantisipasi kebutuhan perusahaan secara global. Adalah e-Learning dimana tenaga kerja saat ini dapat memproses informasi pendidikan dan pelatihan lebih dalam dengan jumlah waktu yang lebih singkat.
Hal ini disebabkan produk-produk baru dan jasa muncul dengan cepat. Siklus produksi dan rentang hidup produk yang semakin singkat, menjadikan informasi dan pelatihan cepat menjadi usang. Ada urgensi pelatihan dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan lebih cepat dan efisien kapanpun dan dimanapun diperlukan. Dalam era produksi “just-in-time”, pelatihan yang tepat waktu dan mutu menjadi elemen penting untuk keberhasilan organisasi (Rosenberg, 2001; Urdan & Weggen, 2000).
Tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi serta skill memadai untuk menunjang perusahaan adalah maksud disediakannya sistem e-learning di korporat. SDM adalah faktor utama keberhasilan perusahaan untuk merealisasikan visi dan misinya. Untuk itu SDM perlu dibangun. Salah satu cara membangunnya adalah mengimplementasikan sistem e-learning.
Supaya implementasi e-learning bisa berjalan sesuai harapan, harus dibuat kerangka strategi implementasinya. Dalam hal tersebut, strategi adalah sekumpulan aksi-aksi terintegrasi yang diarahkan untuk menambah atau meningkatkan kemampuan serta kekuatan enterprise relatif terhadap kompetitor (Porter, 2000).
Manajemen Strategi e-Learning dan Knowledge Management Menuju SDM Kompetitif
Tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi serta skill memadai untuk menunjang perusahaan adalah maksud disediakannya sistem e-learning di korporat. SDM adalah faktor utama keberhasilan perusahaan untuk merealisasikan visi dan misinya. Untuk itu SDM perlu dibangun. Salah satu cara membangunnya adalah mengimplementasikan sistem e-learning dan Knowledge Management.
Supaya implementasi bisa berjalan sesuai harapan, harus dibuat kerangka strategi implementasinya. Dalam hal tersebut, strategi adalah sekumpulan aksi-aksi terintegrasi yang diarahkan untuk menambah atau meningkatkan kemampuan serta kekuatan enterprise relatif terhadap kompetitor (Porter, 2000).
Tanpa strategi, seorang implementor e-learning dan Knowledge Management tidak akan memiliki hal-hal berikut:
·Tidak memiliki resep untuk melakukan implementasi,
·Tidak memiliki roadmap untuk keunggulan kompetitif,
·Tidak memiliki game plan untuk memuaskan stakeholder atau mencapai goal kinerja.
Tiga proses yang mendukung penetapan suatu strategi :
2.Perencanaan strategis : sistematis, komprehensif, analisis untuk membuat rencana/tindakan,
3.Pengambilan keputusan: reaksi efektif terhadap peluang dan ancaman yang tidak dikehendaki;
Kaitannya dengan strategi, peranan sistem teknologi informasi atau sistem informasi, IT/IS adalah adalah untuk menerapkan strategi yang dipilih dan juga sebagai enabler untuk strategi bisnis baru atau strategi yang hanya bisa diterapkan dengan alat bantu teknologi informasi.
Lima Langkah Manajemen Strategi E-learning dan Knowledge Management
Berikut adalah tabel lima tugas manajemen strategi untuk e-learning dan Knowledge Management:
Task1
Task2
Task3
Task4
Task5
Membuat visi strategis dan misi bisnis
Menetapkan objektif/goal
Membuat strategi mencapai objektif
menerapkan &mengeksekusi strategi
Mengevaluasi kinerja, monitoring pengembangan baru, serta inisasi koreksi/
penyesuaian
Tiga Faktor untuk Diperhatikan dalam Manajemen Strategi E-learning dan Knowledge Management
1.Lingkungan eksternal : Politic (legal), Economic, Social (Ecological), Technological;
2.Tekanan grup dan stakeholder : Shareholder, competitor, customer, supplier, government, employee, serikat buruh, publik, financial, mass media;
3.Strategi dan perencanaan internal bisnis : pengembangan internal;
4.Dari tiga faktor tersebut kemudian dirumuskan strategi bisnis dan perencanaan proses untuk menentukan cakupan.
Faktor-faktor yang perlu untuk diidentifikasi meliputi :
1.Resiko manajerial dan finansial;
2.Tingkatan yang diperlukan untuk menciptakan kapabilitas baru;
3.Struktur organisasi eksisting;
4.Kemampuan organisasi untuk menerapkan strategi yang dirumuskan (kompetensi, sumberdaya, proses, dan budaya)
5.Implikasi terhadap customer, partner
6.Kebutuhan membuat perserikatan,aliansi, joint ventura;
Penerapan Strategi
Setelah strategi dibuat, maka perlu dilakukan langkah-langkah penerapan. Setelah langkah tersebut diimplementasikan, maka akan dapat diketahui strategi lanjutan, konstrain-konstrain muncul, opsi baru muncul, peluang baru datang.
Dalam kaitannya dengan penerapan strategi maka perlu diperhatikan pula siklus hidup produk e-learning dan Knowledge Management.
Alat dan Teknik untuk Strategi
Alat dan teknik yang umum digunakan untuk merancang dan merumuskan strategi antara lain:
1.SWOT Analysis
2.BCG matrices; untuk resource alocation
3.Policy/portfolio matricecs
4.Five forces
5.Industry analysis
Strategi Umum E-learning dan Knowledge Management
Umumnya, strategi e-learning dan Knowledge Management diterapkan berdasarkan,
1.Low cost strategy,
2.Differentiation strategy,
3.Niche focus strategy,
Ada tiga kunci penting untuk bisa menjadi trend-setter e-learning dan Knowledge Management di organisasi:
1.operational excellent, (reliable, easily, dan cost-effective)
3.product leadership, (continuing product innovation yang memenuhi customer needs).
Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan memberdayakan sistem pembelajaran di dalam institusi. Menyediakan sistem pembelajaran akan membuat perusahaan selalui bisa selalu menyegarkan pengetahuan bagi stafnya serta membuat pegawai selalu up-to-date dengan perkembangan yang terjadi baik di dalam maupun di luar perusahaan.